Hari terakhir puasa, mungkin masing-masing orang punya cara pandang yang berbeda-beda soal hari ini. Dulu, para sahabat menangisi berakhirnya bulan Ramadhan, sementara kita terkadang disibukkan dengan persiapan Iedul Fitri. Apalagi emak-emak, pastinya sudah repot di dapur, ngurus masakan khas hari raya, lontong, opor, sambel goreng kentang, pencok, belum lagi kue-kue kering. Kadang pengen nanya, kenapa sih harus begitu? Siapa sih yang memulai tradisi aneh ini? Atau kenapa harus mudik? Ah, yang jelas hari ini menjadi ribet, kecuali bagi yang tidak mau ribet.
Saya bukan orang yang suka keramaian, meski kalau berkumpul dengan banyak orang saya biasanya yang paling rame, tapi sejujurnya bila mungkin saya lebih suka sunyi, lebih suka menikmati sepi. Hari raya ini, rasanya tidak mungkin sunyi. Tradisi telah membawa kita pada sebuah kewajiban tak tertulis, tapi tak patut bila ditinggalkan. Saya pikir ini tradisi yang baik, tak mengapa, tokh beberapa orang hanya satu tahun sekali ini bisa bertemu, anggap saja memanfaatkan momen liburan untuk berbakti pada orang tua, untuk silaturahim dengan keluarga, untuk saling memaafkan.
Maka beruntung rasanya bertemu hari Iedul Fitri, meski tak ada tuntunan yang mengajarkan kita untuk saling memafkan selama Iedul Fitri, tapi atas nama gengsi, banyak orang yang kalau mau minta maaf menunggu Iedul Fitri. Yah, daripada tidak sama sekali. Maka muncullah tradisi baru bernama halal bi halal. Jaman saya kecil(pernah kecil), semua orang berkeliling dari rumah ke rumah, mengunjungi semua tetangga, sehingga wajar bila pada hari ini seolah orang berlomba untuk membersihkan rumah, membuat hidangan terbaik, semoga niatnya karena untuk memuliakan tamu, bukan untuk pamer atau kebanggaan pribadi. Lalu, tradisi itu berganti, kini orang satu kampung tak lagi saling mengunjungi, tapi berbaris sepanjang gang untuk bersalaman secara berurutan. Intinya kalau sudah salaman artinya sudah kosong-kosong. Menurut saya ada baiknya juga, lebih simple, meskipun akhirnya anak-anak kecil jaman sekarang tidak mengalami nasib seperti saya, bisa mencicipi semua kue di semua rumah, belum sirup atau Fanta, juga nggak kebagian uang fitrah dari tiap rumah.
Acara ini selanjutnya sering disebut dengan halal bi halal, konon masyarakat Arab sendiri bingung dengan arti halal bi halal. Ya anggap saja ini kata serapan dari bahasa Arab, karena halal sendiri artinya boleh, atau diperkenankan, maka mungkin maksudnya kosong-kosong tadi, sudah, nggak apa-apa, salah yang lalu sudah selesai. Konon lagi, sejarahnya halal bi halal ini dimulai dari Kraton Surakarta, pada masa Pangeran Sambernyawa menjabat sebagai KGPAA Mangkunegara I, untuk menghemat tenaga biaya dan lain sebagainya, sang Pangeran mengadakan open istana, para punggawa akan datang dan sungkem kepada seluruh keluarga kerajaan. Jadilah tradisi ini diteruskan sampai sekarang.
Uniknya, karena ada acara semacam halal bi halal ini, para jomblo akan ditanya, "Kapan nikah?", bila sudah nikah akan ditanya, "Kapan punya anak?", bila sudah punya anak akan ditanya, "Kapan nambah lagi?", bila sudah punya banyak anak akan ditanya, "Anak-anaknya sudah besar ya? Sekolah di mana?" dan ribuan pertanyaan lain. Khas Indonesia! Apa bagus? Menurut pendapat saya pribadi sih itu bagus, artinya banyak orang yang sangat perhatian dengan kita. Anggap saja uangkapan-ungkapan itu adalah saat-saat untuk saling mendoakan.
Itu bukan cuma satu keunikan yang bisa kita lihat, keunikan lainnya adalah budaya baju baru, sandal baru, semua serba baru. Itu juga menurut saya bagus, karena memang disunahkan untuk mengenakan pakaian yang terbaik. Repotnya kalau baju barunya ada yang kembar, alamak... silahkan pikir sendiri rasanya. Dan bagi sebagaian orang, beli baju baru itu ya pas hari raya, jadi tradisi ini sejauh ini masih cukup baik untuk memotivasi masyarakat mencari uang lebih banyak, catatannya, pencari nafkah niatnya untuk membahagiakan keluarga, bagian dari ibadah dan bentuk syukur.
Masih ada keunikan lainnya? Masih dong, yaitu salaman, bagi sebagian orang yang sudah tahu salaman antar lawan jenis yang bukan mahrom itu haram hukumnya, momen halal bi halal jadi bikin perasaan serba salah. Salaman jelas dosa, nggak salaman dibilang macem-macem. Apa harus pakai kaos tangan supaya aman? (Boleh juga, hehe), yang jelas sekali lagi, namanya ibadah itu bukan dasarnya ora kepenak, bila akhirnya segala sesuatu karena ora kepenak, maka wajarlah bila hidup anda masih di jaman ora kepenak. Justru ini sarana dakwah juga, ada pertanyaan, ada respon, berarti bagus. Kalau tidak ada pertanyaan, tidak ada respon malah ini akan menjadi semacam emang enak dicuekin, begitulah kira-kira.
Meskipun masih banyak keunikan lainnya, seperti baru saja saling memaafkan setelah itu akan saling ghibah, atau malah pada saat salaman itu juga bikin dosa lagi, atau ada juga yang memanfaatkan untuk promo produk terntentu dengan pakai pin "saya sudah turun BB 10Kg" dan lain sebagainya, itu hal yang lumrah, tak perlu menjadi pembahasan serius, sebab batre lepi juga sudah sekarat, sebaiknya saya segera beres-beres rumah, takut besok banyak tamu, rumah masih berantakan... Malu euy, belum repot punya anak rumahnya berantakan. Haha...
Taqobbalallohu minna wa minkum. Maaf lahir batin aja deh Mas dan Mba Bro!