Rabu, 15 Juli 2015

Halal Bi Halal

Hari terakhir puasa, mungkin masing-masing orang punya cara pandang yang berbeda-beda soal hari ini. Dulu, para sahabat menangisi berakhirnya bulan Ramadhan, sementara kita terkadang disibukkan dengan persiapan Iedul Fitri. Apalagi emak-emak, pastinya sudah repot di dapur, ngurus masakan khas hari raya, lontong, opor, sambel goreng kentang, pencok, belum lagi kue-kue kering. Kadang pengen nanya, kenapa sih harus begitu? Siapa sih yang memulai tradisi aneh ini? Atau kenapa harus mudik? Ah, yang jelas hari ini menjadi ribet, kecuali bagi yang tidak mau ribet.

Saya bukan orang yang suka keramaian, meski kalau berkumpul dengan banyak orang saya biasanya yang paling rame, tapi sejujurnya bila mungkin saya lebih suka sunyi, lebih suka menikmati sepi. Hari raya ini, rasanya tidak mungkin sunyi. Tradisi telah membawa kita pada sebuah kewajiban tak tertulis, tapi tak patut bila ditinggalkan. Saya pikir ini tradisi yang baik, tak mengapa, tokh beberapa orang hanya satu tahun sekali ini bisa bertemu, anggap saja memanfaatkan momen liburan untuk berbakti pada orang tua, untuk silaturahim dengan keluarga, untuk saling memaafkan.

Maka beruntung rasanya bertemu hari Iedul Fitri, meski tak ada tuntunan yang mengajarkan kita untuk saling memafkan selama Iedul Fitri, tapi atas nama gengsi, banyak orang yang kalau mau minta maaf menunggu Iedul Fitri. Yah, daripada tidak sama sekali. Maka muncullah tradisi baru bernama halal bi halal. Jaman saya kecil(pernah kecil), semua orang berkeliling dari rumah ke rumah, mengunjungi semua tetangga, sehingga wajar bila pada hari ini seolah orang berlomba untuk membersihkan rumah, membuat hidangan terbaik, semoga niatnya karena untuk memuliakan tamu, bukan untuk pamer atau kebanggaan pribadi. Lalu, tradisi itu berganti, kini orang satu kampung tak lagi saling mengunjungi, tapi berbaris sepanjang gang untuk bersalaman secara berurutan. Intinya kalau sudah salaman artinya sudah kosong-kosong. Menurut saya ada baiknya juga, lebih simple, meskipun akhirnya anak-anak kecil jaman sekarang tidak mengalami nasib seperti saya, bisa mencicipi semua kue di semua rumah, belum sirup atau Fanta, juga nggak kebagian uang fitrah dari tiap rumah.

Acara ini selanjutnya sering disebut dengan halal bi halal, konon masyarakat Arab sendiri bingung dengan arti halal bi halal. Ya anggap saja ini kata serapan dari bahasa Arab, karena halal sendiri artinya boleh, atau diperkenankan, maka mungkin maksudnya kosong-kosong tadi, sudah, nggak apa-apa, salah yang lalu sudah selesai. Konon lagi, sejarahnya halal bi halal ini dimulai dari Kraton Surakarta, pada masa Pangeran Sambernyawa menjabat sebagai KGPAA Mangkunegara I, untuk menghemat tenaga biaya dan lain sebagainya, sang Pangeran mengadakan open istana, para punggawa akan datang dan sungkem kepada seluruh keluarga kerajaan. Jadilah tradisi ini diteruskan sampai sekarang.

Uniknya, karena ada acara semacam halal bi halal ini, para jomblo akan ditanya, "Kapan nikah?", bila sudah nikah akan ditanya, "Kapan punya anak?", bila sudah punya anak akan ditanya, "Kapan nambah lagi?", bila sudah punya banyak anak akan ditanya, "Anak-anaknya sudah besar ya? Sekolah di mana?" dan ribuan pertanyaan lain. Khas Indonesia! Apa bagus? Menurut pendapat saya pribadi sih itu bagus, artinya banyak orang yang sangat perhatian dengan kita. Anggap saja uangkapan-ungkapan itu adalah saat-saat untuk saling mendoakan.

Itu bukan cuma satu keunikan yang bisa kita lihat, keunikan lainnya adalah budaya baju baru, sandal baru, semua serba baru. Itu juga menurut saya bagus, karena memang disunahkan untuk mengenakan pakaian yang terbaik. Repotnya kalau baju barunya ada yang kembar, alamak... silahkan pikir sendiri rasanya. Dan bagi sebagaian orang, beli baju baru itu ya pas hari raya, jadi tradisi ini sejauh ini masih cukup baik untuk memotivasi masyarakat mencari uang lebih banyak, catatannya, pencari nafkah niatnya untuk membahagiakan keluarga, bagian dari ibadah dan bentuk syukur.

Masih ada keunikan lainnya? Masih dong, yaitu salaman, bagi sebagian orang yang sudah tahu salaman antar lawan jenis yang bukan mahrom itu haram hukumnya, momen halal bi halal jadi bikin perasaan serba salah. Salaman jelas dosa, nggak salaman dibilang macem-macem. Apa harus pakai kaos tangan supaya aman? (Boleh juga, hehe), yang jelas sekali lagi, namanya ibadah itu bukan dasarnya ora kepenak, bila akhirnya segala sesuatu karena ora kepenak, maka wajarlah bila hidup anda masih di jaman ora kepenak. Justru ini sarana dakwah juga, ada pertanyaan, ada respon, berarti bagus. Kalau tidak ada pertanyaan, tidak ada respon malah ini akan menjadi semacam emang enak dicuekin, begitulah kira-kira.

Meskipun masih banyak keunikan lainnya, seperti baru saja saling memaafkan setelah itu akan saling ghibah, atau malah pada saat salaman itu juga bikin dosa lagi, atau ada juga yang memanfaatkan untuk promo produk terntentu dengan pakai pin "saya sudah turun BB 10Kg" dan lain sebagainya, itu hal yang lumrah, tak perlu menjadi pembahasan serius, sebab batre lepi juga sudah sekarat, sebaiknya saya segera beres-beres rumah, takut besok banyak tamu, rumah masih berantakan... Malu euy, belum repot punya anak rumahnya berantakan. Haha...

Taqobbalallohu minna wa minkum. Maaf lahir batin aja deh Mas dan Mba Bro!

Kamis, 09 Juli 2015

Bakwan Mie untuk Jaburan

Bingung mau bikin makanan buat jaburan ba'da taroweh, maklum namanya di desa jaburan itu sudah jadi acara wajib pas bulan Ramadhan. Buat nyiasatin kalo pas anggaran mepet mending bikin sendiri, daripada beli, rasanya belum tentu enak, udah gitu harganya juga lumayan mahal. Keinget dulu ibuku sering banget bikin bakwan mie, kayaknya enak dan cocok buat cemilan yang nggak ngebosenin. Buat yang pengen resepnya boleh dicoba. Ni sekalian sama anggarannya, biar bisa buat pertimbangan buat yang lagi mepet anggaran.


Bahan dan bumbu:
5 bungkus mie Indomie goreng (dari semua mie instan paling demen yang ini, rebus dan tiriskan airnya) (Rp. 10.000)
1/2 kg wortel (serut pakai gesret, atau serutan keju) (Rp. 5000)
1 ikat muncang (iris tipis) (Rp. 1000)
1/2 kg ayam (cincang jangan terlalu halus, ntar nggak kerasa) (Rp. 14.000)
2 bungkus sosis isi 10 batang (iris bulet-bulet tipis) (Rp. 12.000)
5 butir telur ayam (kocok lepas) (Rp. 10.000)
5 sendok tepung terigu (Rp. 1000)
5 sendok tepung maizena (Rp. 1000)
1 sendok teh garam (secukupnya aja)
1/2 sendok teh merica bubuk
3 siung bawang merah (haluskan)
5 sachet bumbu mie instan
1/4 liter minyak untuk menggoreng (Rp. 6000)

cling cling cling... kira-kira cuma abis Rp. 60.000

Langkah-langkah
1. Rebus mie instan dan tiriskan airnya
2. Kocok lepas telur, campur dengan sedikit air dan bumbu mie instan juga garam
3. Masukan tepung terigu dan maizena ke dalam adonan telur, aduk sampai rata
4. Tumis bawang merah yang sudah dihaluskan, hingga bau harum
5. Masukkan ayam cincang, wortel, muncang, dan sosis, tambahkan merica bubuk.
6. Tumis kurang lebih 3-5 menit, asal sudah matang
7. Angkat tumisan isi bakwan, dinginkan.
8. Bila sudah dingin, campur tumisan dengan mie, dan adonan telor serta terigu hingga rata.
9. Siapkan wajan kue cubit supaya bentuk bakwan mie bulat rapi.
10. Oles minyak di atas wajan kue cubit, cetak adonan di atasnya.
11. Tutup wajan dan goreng dengan api kecil supaya matang sampai ke dalam.
12. Bila warna adonan sudah kuning keemasan, angkat dan letakkan di kertas agar tidak berminyak

Keterangan: Adonan ini untuk 60 buah bakwan.

Gimana? Murah meriah kan, Bunda? Nggak nyampe Rp. 100.000 udah bisa bikin makanan enak buat jama'ah satu masjid.

Rabu, 08 Juli 2015

Hati Yang Lembut dan Pemaaf

Merasakan indahnya bermalam di rumah sakit dengan diagnosa hepatomegali, diagnosa yang sebetulnya adalah sebuah gejala penyakit. Apapun itu, satu hal yang membuat saya merasa sedang ditampar Allah. Introspeksi, ini penyakit hati, secara fisik penyakit ini menimpa liver, menurut pelajaran pengobatan tradisional yang saya pelajari, penyakit liver ini memang hanya diderita oleh orang-orang yang secara emosional tidak stabil. Kadang marah berlebihan, sedih berlebihan, bahkan bisa juga gembira berlebihan.

Bertanya pada dokter yang irit sekali bicara, hanya disampaikan hepatomegali. Malas menggali lebih dalam, akhirnya bertanya pada mbah Google, penyebab hepatomegali. Menemukan banyak fakta menarik, sebab nyatanya hasil tes HBSAG saya negatif, tidak ada batu di saluran empedu, tidak juga penyakit jantung koroner, dan tidak juga mengarah pada kanker hati. Sementara sepengetahuan saya, hepatomegali itu tidak berdiri sendiri sebagai sebuah penyakit. Lalu apa yang terjadi dengan hati ini? Mengapa hati ini seolah sedang protes, membesar, jangan-jangan karena selama ini hati merasa sempit, sehingga ia kini bengkak.



Hanya bisa menghela nafas panjang, Ramadhan tahun ini mungkin Allah ingin saya merenung, membersihkan hati dari sifat-sifat yang dibenci Allah. Mengingat terkadang hati ini menyimpan dendam, sering merasa jengkel karena merasa terdzolimi, sering merasa lelah karena selalu menuntut sikap orang lain pada diri, sering tergesa-gesa ingin segera mendapatkan hasil terbaik ketika melakukan segala sesuatu. Masih banyak lagi sikap hati yang kiranya telah membuat fisik pun protes.

Bukan saatnya lagi saya mengungkit hal-hal menyakitkan yang telah dilakukan orang lain, ini sudah saatnya saya menjadi pemaaf, lebih legowo menyikapi kehidupan, lebih ikhlas menghadapi berbagai sikap tak mengenakkan, lebih lembut kepada orang lain, harus belajar pada pribadi Rosulullah SAW. Betul-betul sedang diingatkan untuk praktek, bukan sekadar teori.

Allah amat sayang pada diri ini, semoga untuk selanjutnya hati ini lebih lembut dan pemaaf. Sebagaimana Rosulullah teladan terbaik, tak pernah marah kecuali bila yang dihina adalah agamanya. Ya Rabb, karuniakan pada kami hati yang lembut dan pemaaf, hati yang kelak pantas mengantar pemiliknya masuk ke surga, sebagai hadiah Ramadhan terbaik bagi kami tahun ini. Aamiin...

Selasa, 07 Juli 2015

Apa Kabar Dakwah Sekolah?

Beberapa hari lalu, almamaterku SMA Negeri 1 Purwokerto hampir saja kecolongan. Sebuah kegiatan bertajuk pemutaran film "Pada Bae Mbok", nyaris saja menjadi salah satu acara dalam kegiatan Amaliyah Ramadhan. Isi dari film itu kurang lebih adalah paham menyesatkan, yang menganggap bahwa tidak ada beda antara Islam dengan Ahmadiyah, maupun dengan Syi'ah. Entah bagaimana kronologi dan ceritanya, sehingga acara bertajuk demikian begitu mudah masuk ke sekolah. Publikasi pemutaran film tersebut menyebar secara viral di kalangan adik-adik Smansa, padahal konon belum mengantongi ijin resmi dari pihak Kepala Sekolah. Sebelumnya film tersebut telah di putar di Fakultas Fisip Unsoed. Artinya kegiatan pemutaran film ini memang telah menjadi program segelintir orang yang ingin paham semacam Syi'ah dan Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam.

Ulul Albab, masih ingat ribuan memori di sana?


Bagi kita masyarakat muslim Banyumas sudah sepantasnya ini menjadi lampu kuning untuk meningkatkan kewaspadaan, bahwa para penyusup semakin lihai memainkan strategi dakwah mereka, sementara terkadang kita masih berkutat pada hal remeh-temeh yang tak perlu diperdebatkan.

Sambil mengenang masa lalu, ngaku-ngaku sedikit sebagai pelaku dakwah sekolah, saya lulus 2002, kembali ke sekolah untuk mulai bergerilya dan sok kenal sok dekat dengan adik-adik ROHIS tahun 2004, memang kala itu masih single fighter, hanya dibantu seorang akhwat senior yang kebetulan sahabat dekat, betul-betul hanya karena senang dengan aktivitas dakwah sekolah. Malu dan minder yang hinggap nggak ketulungan. Bukan murid teladan, sebaliknya hanya murid telatan, sudah begitu tempat kuliah saya pun bukan tempat kuliah bergengsi. Sejujurnya bagi saya menginjakkan kaki di halaman sekolah dengan nama besar seperti Smansa Purwokerto itu, lebih berat dari berlari sepuluh kali keliling lapangan.

Kalau ingat momen itu, rasanya saya ingin mengulang SMA lagi, pengen belajar yang rajin, jadi anak pintar yang membanggakan, agar percaya diri melangkah berdakwah di sekolah. Namun, rupanya Allah SWT punya rencana lain, saya memang bukan bagian dari siswa yang pandai, sengaja dibuat kuliah di Purwokerto saja, itu pun di sebuah kampus yang tidak banyak diminati anak-anak Smansa, hanya sebuah kampus D3 Keperawatan di pinggiran kota Purwokerto. Tapi rupanya skenario ini yang membawa saya bisa balik lagi ke Smansa, biar bisa berdakwah semampu saya di almamater tercinta.

Dalam benak saya hanya teringat sebuah ayat, "Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.", terus saya ulang-ulang dalam hati ayat tersebut, supaya tak gentar kaki ini melangkah, supaya tak enggan wajah ini ketika bertemu dengan para guru, supaya teguh jiwa ini melangkah selama di jalan kebaikan.

Alhamdulillah, meski tidak banyak yang bisa saya lakukan, tapi diantara adik-adik saya di Smansa dulu, banyak yang istiqomah melanjutkan estafet dakwah. Bahkan beberapa di antaranya kini menjadi mas'ul dakwah, menjadi kader inti dakwah dan justru saya yang kini harus banyak belajar pada mereka. Kadang menetes air mata ini karena bahagia, mereka adalah kebanggaan saya. Memang bukan karena kata-kata saya mereka menjadi seperti hari ini, tapi setidaknya saya pernah bersama mereka, pernah jadi bagian dari perjalanan orang-orang sukses, itu yang membuat saya merasa bahagia.

Dakwah di Smansa, dan saya pikir di semua sekolah, punya tantangan tersendiri. Utamanya adalah meyakinkan para guru dan orang tua, bahwa apa yang kita bawa adalah kebenaran. Hempasan isu terorisme, aliran sesat dan sebagainya seolah tak henti menerjang. Pihak sekolah lebih takut alumni Rohis yang lugu, unyu, dan baik hati masuk ke sekolah timbang mohon maaf alumni yang berlatar belakang tidak jelas. Mereka yang membawa berbagai isme yang juntrungannya membawa pada pola pikir sekuler, jauh dari nilai-nilai Islami. Alumni-alumni itu justru lebih mudah diterima pihak sekolah.

Kadang saya merasa miris melihat kenyataan itu, sempat terpikir untuk sering-sering mengajak alumni ROHIS yang sudah sukses, kuliah di kampus bergengsi, bekerja di instansi yang bergengsi, untuk ikut sekadar nongol pas acara ROHIS, untuk sekadar pencitraan, "Ini loh, alumni ROHIS yang berprestasi, hubungan kami baik, dan mereka menitipkan adik-adiknya pada kami yang di Purwokerto, karena mereka jauh dan nggak bisa sering-sering main ke Smansa. Kami di kampus-kampus kami yang bonafit itu juga ngaji loh, juga mentoring, jilbab kami juga lebar, celana kami juga cingklang, kami juga berjenggot tipis, dan kami bukan teroris." Supaya pihak sekolah tahu, alumni ROHIS juga banyak yang berprestasi, dan soal penampilan, belum tentu yang berjilbab lebar, berjenggot itu ekstrimis dan tidak nasionalis.

Sebuah introspeksi juga bagi kami para alumni ROHIS, mungkin penampilan yang dianggap terlalu ekstrem, mungkin pula kurangnya silaturahim dengan pihak sekolah, atau berbagai kemungkinan lain. Satu saja yang sudah jelas menjadi sunatullah, bahwa dalam berdakwah, tak pernah ada jalan yang mulus-mulus saja, bila demikian hal itu malah sepantasnya menjadi pertanyaan.

Ingin rasanya ada sebuah kesempatan, teman-teman aktivis dakwah sekolah, duduk satu meja dengan para guru, bila perlu kita silaturahim dengan guru-guru mata pelajaran agama Islam se-Banyumas, membahas bagaimana dakwah sekolah bisa berjalan, menyiapkan SDM yang mumpuni, bila perlu diadakan seleksi mentor sekolah, penyeleksinya para guru mata pelajaran agama Islam, supaya dakwah sekolah ini menjadi lembaga yang legal dan diakui keberadaannya, dan tidak perlu ditakuti oleh pihak sekolah dan orang tua tentunya. Bagaimana kita bersinergi agar maksiat di kalangan pelajar tidak semakin menjadi-jadi. Toh, orang tua juga yang mengeluh bila anaknya berbuat ini itu, meninggalkan sholat, demen pacaran, bahkan sampai pada pergaulan bebas.

Sekaligus ini juga sebuah tantangan bagi para aktivis dakwah kampus, tak selamanya dakwah itu nguplek-uplek dunia kampus. Ayo turun ke sekolah. Memang dakwah sekolah tidak bergengsi, tidak bikin kita terkenal, tidak seheroik dakwah kampus yang penuh dengan dinamika. Namun, percayalah bahwa tunas-tunas itu ada di sini, di dakwah sekolah. Terlebih sekolah-sekolah favorite di Purwokerto, banyak yang masuk sekolah terbaik seluruh Indonesia, untuk Smansa sendiri bahkan masuk 10 besar sekolah terbaik di Indonesia, bibit-bibit pemimpin ada di sini, mereka yang nanti akan menguasai sektor-sektor penting, calon-calon pemimpin bangsa. Sejak mereka sekolah itulah kita sentuh hatinya, kita dampingi agar kelak menjadi pemimpin yang menjaga agamanya.

Qodarullah, Allah mungkin ingin saya istirahat, 2011 saya sakit yang membuat seluruh aktivitas dakwah sekolah harus saya hentikan. Sejak itu, saya sudah tak lagi berinteraksi dengan dakwah sekolah. Tak tahu lagi kabar adik-adik di Smansa, atau pun adik-adik di sekolah lain. Satu hal yang harus saya syukuri, saya masih berada di jalan ini, Allah SWT masih memberi kesempatan untuk terus berputar bersama orang-orang yang menyeru pada kebaikan. insyaAllah perjuangan dakwah ini tidak akan pernah selesai. Bila bukan kita, pasti Allah gantikan dengan orang-orang yang lebih baik dari kita.


Sabtu, 04 Juli 2015

Standar Kebaikan

"Bagaimana mungkin malamnya saya gambusan, paginya saya berdakwah." ujar seorang ustadz menanggapi pertanyaan seputar gambusan, sebuah kebiasaan masyarakat Arab keturunan yang tinggal di Indonesia. 


Sedikit banyak saya mengerti soal gambusan ini. Orang Arab paling suka mengundang makan, semakin sering orang mengundang makan-makan, semakin dermawan. Tak hanya makan-makan, acara gambusan ini utamanya adalah mendengarkan irama mandolin yang mengalunkan lagu-lagu khas Timur Tengah, tak jarang para tamu bergerak mengikuti irama, menari zapin. Selebihnya acara gambusan ini berisi ngobrol-ngobrol ngalor ngidul, pokoknya intinya bersenang-senang. Tidak ada yang salah dengan gambusan. Hukumnya mubah saja, sebab isinya pun hanya lelaki, tidak ada campur baur antara lelaki dan perempuan. Sekadar menikmati seni, melepas penat setelah aktivitas mencari nafkah buat kaum lelaki. Sekali lagi ini hanya soal muru'ah. Sebuah standar kepatutan bagi seorang mukmin.

Muru'ah, memang bukan hal baru di kalangan para ulama. Asal katanya adalah mar'u, yang berarti manusia, dalam istilah lebih dikenal sebagai hal-hal yang membedakan antara manusia dengan binatang. Bagaimana manusia bertingkah laku baik dalam masyarakat, sehingga menambah wibawanya di tengah masyarakat. Tiap-tiap daerah juga punya perbedaan dalam hal muru'ah. Pernah suatu kali, suami menjadi sopir seorang syaikh dari Timur Tengah, begitu sampai di lokasi, sebagai penghormatan beliau melepas ikat kepalanya dan menggantinya dengan kopiah Indonesia. Sebab beliau tahu, di Indonesia kopiah merupakan sebuah tanda kehormatan.

Dulu, di jaman Imam Syafi'i, seseorang yang tidak menggunakan ikat kepala dianggap tidak terhormat, termasuk seseorang yang makan atau jajan sembarangan di pinggir jalan, itu juga dianggap orang yang tidak terhormat. Bahkan persaksiannya di pengadilan pun tidak diterima. Begitu berhati-hati seseorang terhadap perkara halal haram, sehingga itu menjadi sebuah standar kebaikan. Lain jaman, lain cerita, kini standar kebaikan, kita akui atau tidak, telah merosot jauh. Dulu cium tangan orang tua sebelum tidur adalah hal yang harus dilakukan seorang anak kepada orang tua, seperti sebuah aturan tak tertulis, kebiasaan itu harus dilakukan oleh seluruh anggota keluarga sebagai bentuk penghormatan. Kini kebiasaan baik itu pun seolah terkikis. Jangankan cium tangan sebelum tidur, sebelum bepergian pun cium tangan seolah sudah menjadi hal yang tidak terlalu penting untuk dilakukan. Lebih ekstrem anak gadis yang keluar malam, dulu bisa-bisa dicap sebagai perempuan yang kurang baik. Nyatanya sekarang jam 9 malam pun masih banyak para gadis yang baru pulang atau berangkat bekerja, atau bisa juga baru pulang dari kampus.

Standar kebaikan ini, memang bukan sebuah kewajiban, bukan pula merupakan ibadah-ibadah sunnah seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW, ini adalah budaya setempat. Sebagai seorang muslim, tentu saja hal ini menjadi sebuah kebaikan bagi kita selama budaya dan nilai kebaikan tersebut sejalan dengan agama. Sayang kini orang lebih suka mempertahankan standar budaya yang sebaliknya, yang jauh dari nilai-nilai kebaikan, yang penuh kesesatan dan bahkan cenderung tak layak disebut memiliki nilai.

Pada akhirnya saya hanya bisa menghela nafas panjang, mencoba lebih arif memahami dunia yang nyatanya tak pernah hitam putih. Tuntutan jaman, kebutuhan, dan atas nama segala yang terlintas dalam benak manusia, telah menjadi sebuah standar-standar yang semakin lama semakin heterogen. Masyarakat pun semakin tak perduli dengan segala standar kebaikan tersebut. Ini menjadi catatan pada pribadai-pribadi kita sendiri, standar kita terhadap diri kita masing-masing, yang kelak mau tidak mau akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Ini soal harga diri!

#menulis_hamasah_1

Rabu, 08 April 2015

Amal Biasa, Luar Biasa


Pernah suatu kali, bapak mengajakku silaturahim ke rumah teman-temannya. Awalnya aku sendiri sangat malas, namun karena bapak memaksa, akhirnya aku pun terpaksa menuruti permintaannya. 

Ternyata kawan yang dimaksud oleh bapak adalah seorang saudagar Arab, namanya Pak Abud. Lantai bawah rumahnya merupakan show room mobil, lantai dua kantor dan lantai tiga baru lah rumah beliau. Khas rumah orang Arab, tamu lelaki dan perempuan punya ruang tamu terpisah. Aku berkesempatan melihat lebih jauh ke dalam rumah Pak Abud. Karpet-karpet impor, lampu lampu kristal besar seperti yang di masjid-masjid, dan aneka hiasan yang belum pernah kulihat sebelumnya menghiasi rumah ini. 

Sejenak menunggu, seorang asisten menemui bapak, “Maaf Pak, apa sudah ada janji sebelumnya?” Tanyanya. “Belum, saya silaturahim saja.” 

“Oh, kalau begitu harus menunggu sampai jam 10. Pak Abud biasanya menyelesaikan tilawah dan Sholat Duha, tidak terima tamu kecuali sudah janjian, tapi kalo mau menunggu silahkan saja.” Terangnya.

Akhirnya, kami memilih berpamitan. Ternyata bapak mengajakku ke rumah temannya yang lain. Sementara bapak asik mengobrol, aku mulai bosan. Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku, seorang perempuan paruh baya nampak membersihkan masjid besar di samping rumah ini. Ternyata ia istri tuan rumah. Aku heran, sebab bisa saja beliau menyuruh para pegawainya melakukannya. Tapi rupanya ini sudah menjadi kebiasaan, beliau selalu membersihkan masjid jelang waktu sholat, begitu penjelasan yang kuterima.

Jelang Maghrib kami berpamitan. Kupikir tadi adalah destinasi terakhir, tapi bapak mengajakku ke rumah temannya yang lain. Sayang beribu sayang, kedatangan kami kali ini langsung ditolak. Karena empunya rumah tidak terima tamu ba’da Maghrib hingga Isya.

Sepanjang perjalanan pulang, bapak bercerita, semua orang yang kami kunjungi adalah orang sukses, ternyata di balik kesuksesannya mereka punya amal unggulan yang rutin dikerjakan. Sambil menggoda bapak, aku angkat bicara, “Nah, pantes! Bapak sampai sekarang belum sukses!” Sebelum diceramahin, mending aku duluan yang ambil kesimpulan. Kami berdua pun sama-sama terkekeh.

Kongres PDIP, Lagi-lagi di Bali


Kongres PDIP menjadi headline di banyak media nasional. Lagi-lagi Bali menjadi pilihan partai belambang banteng dengan moncong putih ini untuk melaksanakan kongres. Sepertinya para fungsionaris partai dan pendukungnya memang senang sekali dengan Kota Bali.

Bali memang tempat yang indah, pantainya yang luar biasa, juga budaya yang masih kental melekat dengan Bali. Selain anjing-anjing yang berkeliaran dan sampah sesaji, Bali adalah tempat yang nyaman untuk dikunjungi (sambil melirik suami, kapan kita mau plesir ke Bali?). Siapa yang tidak kenal Bali? Bahkan konon Bali itu sendiri lebih terkenal ketimbang Indonesia.

Lain Bali, lain Megawati, semoga kongres PDIP lagi-lagi di Bali, tidak menjadi Kongres PDIP, lagi-lagi Megawati. Terus terang, saya merasa kasihan dengan bu Mega, bayangkan saja, seorang janda, harus memimpin sebuah partai besar seperti PDIP, tak hanya satu periode, tapi nyaris sepanjang berdirinya partai ini, Megawati menjadi tokoh central partai. Saya sampai berpikir, apa tidak lelah bu Mega itu? Atau jangan-jangan memang beliau senang menjadi demikian. Jangan sampai kami yang ada di luar, berpikir PDIP tak punya cukup kader yang mumpuni untuk menggantikan beliau. 

Kita lihat saja, wait and see, apakah akan lagi-lagi Megawati?

Saya berdoa, semoga kongres yang sedianya akan dimulai pada tanggal 9 April 2015 ini, bisa berjalan dengan lancar, banyak keputusan-keputusan besar yang dihasilkan oleh kongres.

(Efek kurang tidur)